Santri Gudhig hanyalah sebutan dari Pangeran Agiyana. Pangeran Adiyana berasal dari Ampel, Jawa Timur. Sejak kecil, dia sudah ditinggal mati kedua orang tuanya. Dia hanya hidup berdua dengan kakak perempuannya.
Suatu ketika, kakak beradik tersebut berkeinginan menunaikan haji di tanah Mekah. Keduanya pergi berjalan ke arah barat melewati hutan-hutan besar, persawahan, dan perkampungan. Dalam perjalanan itu, keduanya sering dicegat oleh kawanan perampok dan sering pula berpapasan dengan hewan-hewan buas. Tak tahu sampai kapan mereka akan tiba di Mekah. Lama perjalanan mereka hingga akhirnya sampailah mereka di daerah Cirebon, Jawa Barat.
Di Cirebon, mereka memutuskan untuk tinggal. Mereka diterima oleh Kanjeng Sultan Cirebon. Beberapa hari mereka di sana membuat Sultan Cirebon tertarik pada kakak Pangeran Adiyana. Sang Sultan mengungkapkan keinginannya untuk menyunting kakak Adiyana. Ia pun bersedia menjadi permaisuri sultan.
Suatu malam, Permaisuri kaget melihat Sultan masuk kamar dalam keadaan mabuk. Permaisuri pun mengungkapkan bahwa ia lebih baik menjadi janda daripada menjadi permaisuri seorang pemabuk. Ia meminta ijin Sultan Cirebon untuk pergi menemui Pangeran Adiyana. Lama nian sang Permaisuri tidak kembali ke kamar. Sultan memerintahkan punggawanya untuk mencari permaisuri. Punggawa tidak menemukan permaisuri di kamar Pangeran Adiyana. Pencarianpun berlanjut hingga sudut-sudut istana. Tetap saja keberadaan sang Permaisuri tidak ditemukan. Ternyata, Permaisuri dan Pangeran Adiyana diam-diam pergi meninggalkan istana. Sultanpun memerintahkan punggawanya untuk terus mencari keduanya hidup atau mati.
Pelarian mereka melewati hutan-hutan besar agar tidak dapat terlacak oleh punggawa istana. Dalam pelariannya itulah Pangeran Adiyana menderita penyakit gudhig (penyakit kulit). Hingga ketika dia bertemu prajurit Cirebon, mereka sudah tidak lagi mengenalnya.
Perjalanan keduanya sampai di Desa Pekiringan. Di sana mereka ditolong seorang pemilik pesantren yang bernama Pangeran Wali Perkosa. Merekapun menjadi santri di sana. Sejak saat itulah Pangeran Adiyana mendapat sebutan Santri Gudhig.
Suatu malam ketika para santri tidur di surau, Pangeran Wali Perkosa yang hendak Sholat Tahajud melihat ada api di salah satu santrinya. Segera saja beliau merobek kain sarung santri tersebut untuk memadamkan apinya. Pagi harinya, seluruh santri yang semalam tidur di surau dikumpulkan. Pangeran Wali Perkosa dapat melihat salah satu santri yang sarungnya robek. Santri itu adalah Santri Gudhig dan Pangeran Wali Perkosapun memberikan nama padanya Pangeran Makdum Cahyana.
Pada suatu hari, Pangeran Makdum Cahyana ditugasi gurunya menjaga sawah. Dia segera pergi ke sawah untuk melaksanakan tugas. Dia lalu menyalakan perapian dan menunggu di sebuah gubug. Tiba-tiba Pangeran Wali Perkosa datang. Ia marah ketika melihat Pangeran Makdum Cahyana membiarkan sawahnya dirusak kawanan hama. Pangeran Makdum Cahyanapun berkata bahwa ia tadi hanya ditugasi untuk menjaga sawah, bukan untuk mengusir hama-hama yang merusak sawah. Pangeran Wali Perkosa mendengar jawaban tadi dan segera pulanh ke pesantren. Keesokan harinya, Pangeran Wali Perkosa kembali ke sawah untuk memanen padi. Ia kaget melihat hasil panen padinya yang melimpah, lebih banyak dari biasanya.
Pangeran Makdum Cahyana dinikahkan dengan Pangeran Estri, putri Pangeran Wali Prakosa. Makamnya berada di Desa Grantung, Kecamatan Karang Moncol.
0 komentar:
Posting Komentar