Ruwatan Cukur Rambut Gembel Wonosobo

Ruwatan Cukur Rambut Gembel merupakan tradisi turun temurun di Dataran Tinggi Dieng dan Lereng Sindoro-Sumbing. Kegiatan tradisi ini menjadi aset budaya daerah melalui kegiatan tahunan Subdin Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Wonosobo.
Anak berambut gembel merupakan memiiki mitos menceritakan bahwa rambut gembel itu merupakan “titipan”. Sudah barang tentu karena itu hanya merupakan titipan suatu saat akan diambil kembali oleh yang empunya. Untuk melepaskan dan mengangkat kembali anak dari kondisi sialnya itu atau membersihkan sesukernya (gembelnya) harus dilakukan upacara Ruwatan.

A. PENDAHULUAN
Wonosobo sebuah kota kecil di lereng bagian barat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kondisi alamnya berbukit-bukit banyak terdapat sumber mata air dengan berbagai corak, sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sumber air panas, dan sumber air asam. Karena itulah banyak kita dapati pula telaga dan air terjun. Sungai besar yang bermata air di puncak Dieng (Tuk Bimolukar) mengalir ke selatan adalah Sungai Serayu yang menghiasi alam Wonosobo. Dari mata air panas terdapat juga kawah dan bahkan pada kondisi tertentu terdapat gas beracun yang dapat merenggut nyawa.
Sebagaian besar masyarakat hidup dari bercocok tanam. Di bagian dataran rendah banyak menanam padi, sedang di area pegunungan banyak petani ubi-ubian, kopi, jagung, kentang, tembakau, sayur-mayur, dan kebun teh. Teh Tambi berkualitas ekspor amat digemari banyak konsumen. Kacang Dieng, Carica (karika), kripik jamur, mie ongklok adalah makanan khas yang bercita rasa spesial amat cocok dinikmati bersama hangatnya teh atau kopi.
Dari kondisi alam yang unik, Wonosobo menyimpan berbagai misteri yang patut disingkap dan cukup menarik untuk disimak. Budaya yang dimilikipun langka dijumpai di daerah lain, seperti Kuda Kepang, Angguk, Bangilun, Wayang Obrol, Cepetan, yang berjumlah 1578 kelompok kesenian. Di samping itu, banyak tradisi-tradisi yang masih dileluhuri seperti suran, saparan, baritan, hak-hakkan dan Ruwatan Cukur Rambut Gembel merupakan tradisi yang unik.
Pada kesempatan ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo bekerjasama dengan HPK, LSM, Pemerintah Desa Dieng Wetan menggelar acara tradisi tahunan.

B. LATAR BELAKANG SEJARAH

Sejarah berdirinya kota Wonosobo tidak lepas dari nama-nama ketiga tokoh pendirinya yaitu Kyai Walik, Kyai Karim, dan Kyai Kolodete. Masing-masing memiliki peran yang cukup signifikan. Betapa tidak? Kyai Walik perancang pembuka hutan sebagai tempat kediaman sekaligus perancang tata desa yang diatur sebagaimana sekarang ini menjadi kota yang asri. Sedangkan Kyai Karim orang yang disegani, cerdas dan berkharisma tinggi, dialah yang sangat berperan mewariskan peletak dasar bidang pemerintahan. Selanjutnya tokoh yang ketiga ini Kyai Kolodete sangat erat kaitannya dengan acara ini, Ruwatan Cukur Rambut Gembel. Konon anak-anak yang berambut gembel merupakan titisan Kyai Kolodete yang diyakini bahwa beliau adalah tokoh yang berambut gembel yang kharismatis. Itulah sebabnya ketika ritual berlangsung telah didahului ziarah atau napak tilas ke gunung Si Kendil tempat pekaringan Kyai Kolodete dan Nyai Cinde Laras istri beliau.

C. MAKNA RUWATAN
Anak-anak berambut gembel terbilang langka dan jarang kita jumpai seantero wilayah nusantara ini. Sebagian besar dapat kita temukan di wilayah Kabupaten Wonosobo dan sebagian di Kabupaten Banjarnegara serta di lereng Merbabu. Ruwatan Cukur Rambut Gembel secara tradisional hingga kini masih berjalan turun temurun, terutama di Dataran Tinggi Dieng dan Lereng Sindoro Sumbing. Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo meramu kegiatan tradisi ini menjadi asset budaya daerah melalui kegiatan tahunan Subdin Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabupaten Wonosobo.
Anak berambut gembel memiiki karakter dan perilaku yang berbeda dari kebiasaan anak seusianya. Kalau tidak energik, nakal, berjiwa heroik, suka mengatur akan muncul perilaku yang diam, pemalu, susah bergaul dengan dunia luar. Kondisi kejiwaan ini diyakini masyarakat lebih pada kekuatan mitos dimana gejala kejiwaan yang muncul sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik rambut yang tumbuh gembel. Lebih jauh berpangkal pada mitos menceritakan bahwa rambut gembel itu merupakan “titipan”. Sudah barang tentu karena itu hanya merupakan titipan suatu saat akan diambil kembali oleh yang empunya. Kecenderungan tipe sikap demikian yang terbelenggu oleh daya nalar yang terbatas terbentuklah sikap menerima dengan sepenuh hati. Van Peursen menyebutnya dengan istilah “sikap mistis” dimana sikap manusia yang merasakan dirinya terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya.
Kondisi anak yang begitu selanjutnya disebut anak “sukerta” yaitu anak yang dicadangkan menjadi mangsa Batharakala (pengaruh budaya wayang). Untuk melepaskan dan mengangkat kembali anak dari kondisi sialnya itu atau membersihkan sesukernya (gembelnya) harus dilakukan upacara Ruwatan.
Ruwatan berasal dari kata Ruwat yang artinya melepaskan yaitu melepaskan dari nasib sialnya, dari kondisi terbelenggu adaptasi, melepaskan dari karakteristik anak yang cenderung aneh agar kembali tumbuh normal sebagaimana anak yang lain. Acara Ruwatan tidak dapat dipaksakan oleh orang tuanya tetapi setelah anak mengajukan permintaan sebagai persyaratan khusus yang disebut “bebana” atau permintaan. Dari pengalaman masa lalu yang pernah dilakukan Dinas Pariwisata sangatlah beragam bebana yang dimintanya, dan kitapun sebagai pelayan hanya mengiyakan dan berusaha memenuhinya. Sebab kalau tidak dipenuhi rambut gembel yang telah dicukurnya akan tumbuh kembali dan kondisi kesehatan akan terganggu, badan akan terasa panas dingin bahkan sampai ada yang mengigau dan kejang-kejang.
Tipe rambut gembel dapat dibedakan dari dua golongan besar yaitu menurut jenis rambut dan letak tumbuhnya.
Menurut jenis rambutnya ada tiga model:
1.       Gembel Pari” yaitu model gembel yang tumbuh memanjang membentuk ikatan rambut kecil-kecil menyerupai bentuk padi. Tipe ini berasal dari jenis rambut lurus dan tipis.
2.       Gembel Jatha” yaitu corak gembel yang merupakan kumpulan rambut gembel yang besar-besar tetapi tidak lekat menjadi satu. Jenis ini berasal dari rambut lurus dan tebal.
3.       Gembel Wedhus/Gembel Debleng” yaitu model gembel yang merupakan kumpulan rambut besar-besar menjadi satu menyerupai bulu domba. Tipe ini berasal dari rambut berombak/kriting.
Sedangkan menurut letak tumbuhnya:
  1. Gembel Gombak” yaitu tipe gembel yang letak tumbuhnya di bagian belakang kepala.
  2. Gembel Pethek” yaitu tipe gembel yang tumbuhnya di bagian samping kepala di atas telinga.
  3. Gembel Kuncung” yaitu tipe gembel yang letak tumbuhnya di daerah ubun-ubun bagian tengah agak kedepan bagian kepala.

D. TUJUAN
Upacara Ruwatan Cukur Rambut Gembel yang merupakan even tahunan Diparbud dengan maksud sebagai berikut.
1.       Melepaskan anak-anak berambut gembel dari gangguan kejiwaan dan fisik, yaitu gembel yang terkesan jorok.
2.       Wahana penerangan kepada masyarakat bahwa maksud dan tujuan ruwatan rambut gembel hubungannya dengan mitos dan cara menyikapinya.
3.       Pelestarian dan bentuk kepedulian pemerintah Kabupaten Wonosobo terhadap upacara tradisi yang dapat mengangkat nama baik Kabupaten Wonosobo.
4.       Gebyar event tahunan yang perlu didanai oleh APBD II sehingga akan dapat berlangsung secara rutin.

E. RENCANA KEGIATAN
1.      Pembelian barang-barang sesaji dan permintaan anak gembel/bebana terdiri dari:
a.        Tumpeng Robyong
Tumpeng Robyong adalah tumpeng putih di atasnya ditancapkan berbagai jajan pasar sebuah penggambaran Rambut Gembel yang dipersembahkan untuk Kyai Kolodete:
Makna:   Bahwa hidup ini senantiasa dikelilingi berbagai sifat-sifat kehidupan siluman, agar lepas dari gangguan itu harus dibuat sesaji tumpeng robyong untuk meruwat si anak gembel dari cengkeraman siluman agar kembali berkembang secara wajar.
b.       Tumpeng Kalung
Tumpeng Putih dihiasi kalung kelapa muda.
Makna:   Dibuatnya tumpeng kalung adalah sebuah ciri dimana anak gembel sesudah diruwat akan dapat meneruskan perjuangan hidup dan senantiasa berbakti kepada orang tua, guru, dan pemerintah serta kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c.        Versi Lain
Dalam pembuatan tumpeng atau bucu pada dasarnya ada 3 macam yaitu: bucu putih, bucu kuning, dan bucu robyong.
Makna:   Bucu Putih melambangkan keselamatan bagi si anak.
                Bucu Kuning melambangkan korban persembahan kepada Nabi Muhammad SAW.
                Bucu Robyong sebagai persembahan kepada Kyai Kolodete yang diyakini menitipkan gembel kepada anaknya.
d.       Ingkung Ayam
Ingkung Ayam harus jantan dimasak utuh setelah dibersihkan luar dan dalamnya.
Makna:   Orang itu harus bersih luar dan dalamnya agar sepanjang perjalanan hidupnya menemui kebahagiaan yang sejati.
e.        Jajan Pasar
Jajan pasar adalah berbagai jenis makanan kecil yang biasa dijual di pasar-pasar.
Makna:   Jajan pasar adalah jajan yang lazim diminta anak-anak kecil. Artinya diharapkan setelah dewasa tidak lagi seperti anak kecil, tetapi dapat hidup mandiri dapat menjadi panutan atau menjadi teladan.
f.        Minuman Lengkap
Minuman lengkap yang dimaksudkan adalah teh, kopi, air putih, dll, atau menurut versi kedaerahan.
Makna:   Sesaji ini melambangkan baktinya anak cucu kepada Pundensari yang menjadi utusan Tuhan dalam menguasai jagad raya dan senantiasa siap sedia menciptakan kesejahteraan bersama (mamayu hayuning bawana).
g.      Sesaji Larungan
Untuk melarung Rambut Gembel yang telah dipotong dilengkapi sesaji sebagai berikut:
a.    Mawar merah          : Lambang keberanian
b.    Mawar putih           : Lambang kesucian
c.    Kanthil                    : Selalu dikenang (kumanthil)
d.   Kenanga                 : Menjadi kenangan seumur hidupnya
e.    Cempaka                 : Lambang kebahagiaan
f.     Kacapiring              : Orang harus mampu mengintrospeksi diri (mawas diri)
g.    Melati                     : Berharap dapat mencapai keharuman nama
h.      Sawur
a.    Beras kuning (lambang pengorbanan)
b.    Kembang setaman (lambang keindahan, kebahagiaan)
c.    Kembang telon (terdiri dari tiga macam kembang), yang bermakna bahwa kebutuhan pokok orang hidup ada tiga macam yaitu sandang, pangan, dan papan.


2.    Napak tilas
Kegiatan napak tilas adalah suatu bentuk kegiatan spiritual yang dilaksanakan sepenuhnya oleh kasepuhan HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan) yang dipimpin oleh Bapak Rusmanto, sowan atau hadir ke tempat-tempat Pundensari untuk memohon petunjuk dan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta penguasa alam agar pelaksanaan ruwatan keesokan harinya terlepas dari marabahaya.

Kegiatan napak tilas ke Pudensari antara lain:
a.      Tuk Lima Lukar
b.      Gunung Prau (Eyang Bima Sakti dan Nini Dewi Ratna Ayu Basa Kumala)
c.      Gunung Kendhil (T. Kaladete, Nyi Laras Cindhe)
d.     Gunung Pakujawa (Eyang Purbajati)
e.      Pertapaan Mandalasari:
·      Gua Jaran (Begawan Kundhaliseta)
·      Gua Sumur (Nini Dewi Kumalasari)
·      Gua Semar (Eyang Begawan Sampurnajati)
·      Telaga Warna (Nini Dewi Retna Nawangrasa)
f.       Bukit Siti Hinggil (Bapa Cakrakusuma, Bapa Jati Kusuman)
g.      Batu Tulis (Eyang Purbawasesa)
b.    Pelaksanaan Ruwatan
a.    Masjid Dieng Wetan menuju ke Telaga Warna, dengan urutan:
·      Kuda Kepang
·      Liong Say
·      Cucuk Lampah
·      Song-song Agung
·      Pembawa Dupa
·      Kasepuhan
·      Sesaji
·      Bebana
·      Anak Gimbal
·      Thek-thek
b.    Sesampai di Batu Tulis rombongan pembawa sesaji dan bebana menata bawaannya di tempat yang telah disediakan.
c.    Kasepuhan dan anak gimbal (tidak berhenti) terus menuju ke Gua Sumur untuk melakukan sesuci, dilanjutkan ke Gua Semar untuk semadi (minta doa restu)
d.   Kembali ke komplek Batu Tulis
c.    Urutan acara ruwatan
a.    Pembukaan
b.    Ucapan selamat datang (Diparbud)
c.    Sambutan Bupati Wonosobo
d.   Pemaknaan sesaji (Bp. Sarno Kusnandar)
e.    Do’a akan dimulainya ruwatan
f.     Pencukuran:
·      Parkono dicukur oleh Bp. Rusmanto
·      Muhamad Ali dicukur oleh Bp. Pardiyono (BKSDA)
·      Muhamad Yasin dicukur oleh Bp. Pardiyono
·      Tuwanti dicukur oleh Bp. Paulus
·      Fadliah Lutvianingsih dicukur oleh tamu dari Jepang
g.    Larungan di Telaga Warna Dieng (Bp. Rusmanto, dkk.)
h.    Do’a penutup
i.      Kembul bujana
5.      Beberapa Nama Anak dan Bebana
a.    MUHAMAD ALI (L/ 7 tahun)
Bin MAYADI, Batursari, Temanggung
Bebana: sepeda
b.    MUHAMAD YASIN (L/ 7 tahun)
Bin MAYADI, Batursari, Temanggung
Bebana: baju satu stel
c.    PARKONO (L/ 7,5 tahun)
Bin SUPRIYANTO, Dawuhan, Kayugiyang, Kec. Garumg
Bebana: telur sekotak, daging ayam
d.   SUKMAWATI (P/ 4 tahun)
Binti GIYONO, Gesing, Gemblengan, Kec. Garung
Bebana: Ketela pohon 100 biji, ikan asin
d.   TUWANTI (P/ 6 atahun)
Binti WAHYONO, Bismo, Slukatan, Kec. Mojotengah
Bebana: ayam, anting-anting.
e.    APRILIA CAHYANI (P/ 5 tahun)
Binti SUYUD, Pandansari, Mudal, Kec. Mojotengah
Bebana: tempe 100 buah
f.     FADLIAH LUTVIANINGSIH (P/ 4 tahun)
Binti MUKHOLIP, desa Selokromo, Kec. Leksono
Bebana: bebek betina 2 ekor, cincin.



6.    Pentas Seni
Untuk memeriahkan acara tersebut dipentaskan berbagai kelompok seni.
a.    Jam 10.00 WIB             : • Pentas seni thek-thek dari Dieng di komplek wisata Telaga Warna
• Pentas Ling Say dari desa Sendangsari, di kompek Telaga Warna

b.    Jam 12.00 WIB             : •   Pentas Kuda Kepang dan lengger dari desa Sendangsari di komplek wisata Telaga Warna

F. PENUTUP
Demikian uraian singkat ini dibuat agar dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan rasa cinta terhadap tradisi aneka budaya nusantara, apabila terdapat kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkenan membantu kami demi kelancaran penyusunan naskah ini, terlebih kepada masyarakat Dieng Wetan beserta para perangkat desa yang telah membantu terlaksananya penyusunan ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.

Semarang, Agustus 2009
Penulis

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar