Pada saat itu, Kerajaan Galuh Pakuan (Pajajaran) sedang dipimpin oleh Adipati Munding Wilis. Kerajaan Galuh Pakuan sedang dilanda kekeringan besar. Para warga hidup dalam kesulitan. Dalam keadaan seperti itu, istri Adipati Munding Wilis yang sedang hamil meminta untuk dicarikan daging kijang berkaki putih. Adipatipun tidak dapat menolak permintaan istrinya yang sedang hamil itu. Segera saja sang Adipati pergi ke hutan bersama para punggawanya. Dia menaiki kuda yang bernama Dawuk Mruyung. Telah lama dicari, kijang berkaki putihpun tak juga ditemui. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah perkampungan para perampok.
Kampung perampok itu dipimpin oleh Abulawang. Setelah mengetahui dari anak buahnya bahwa yang datang adalah Adipati Munding Wililis beserta punggawanya yang membawa bekal yang banyak, dia lalu menyiapkan pasukan. Mereka hendak merampas bekal sang Adipati. Akhirnya, perangpun terjadi antara pasukan Adipati dan pasukan Abulawang. Perang tersebut dimenangkan oleh Abulawang. Adipati dan punggawanya diperkenankan pulang ke Kadipaten Galuh. Sang Adipati pulang dengan berjalan kaki karena kuda miliknya juga ditawan. Abulawang sangat bahagia mendapatkan harta rampasan yang sangat berlimpah.
Setibanya di kadipaten, sang Adipati segera menemui istrinya. Segera saja kesedihannya berubah menjadi kebahagiaan. Istrinya telah melahirkan seorang putera yang tampan. Anak itu memiliki tanda lahir di lengan kanannya berupa belong “toh Wisnu”.
Kebahagiaanpun tidak lama dirasakan. Tiba-tiba Abulawang beserta seluruh pasukannya dating menyerang Kadipaten Galuh Pakuan. Kadipaten porak poranda. Semua harta ludes dirampok oleh Abulawang. Putera sang Adipati yang baru berusia empat haripun dibawanya. Adipati dan istrinya kebingungan. Akhirnya mereka dibantu oleh Ki Juru Taman, pembantu kadipaten untuk mencari puteranya di setiap sudut kadipaten. Akhirnya, ada yang memberi tahu bahwa putera mereka dibawa oleh Abulawang. Keduanyapun memutuskan untuk pergi mencari puteranya. Dengan berpakaian seperti rakyat biasa, mereka mengubah nama menjadi Ki Sandi dan Nyai Sandi.
Di Bukit Mruyung, Abulawang dan istrinya merasa bahagia. Selain mendapat harta, mereka juga mendapat seorang anak. Telah lama mereka menginginkan seorang anak. Abulawang dan istrinya mengangkatnya menjadi anak dan memeberinya nama Jaka Mruyung.
Tumbuhlah Jaka Mruyung menjadi semakin dewasa. Pernah suatu ketika dia mendapat pesan dari Abulawang untuk tidak keluar dari daerah Mruyung. Namun, keinginannya dan kebosanannya membuat dia ingin mengelana. Jaka Mruyung pergi tanpa pamit. Dia mengendarai Dadung Awuk, kuda yang pernah dirampas dari Adipati Munding Wilis. Anak buah Abulawang yang mengetahui segera mengejar Jaka Mruyung. Namun, Jaka Mruyung tidah dapat terkejar.
Jaka Mruyung pergi ke timur melewati hutan-hutan. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah rumah kecil. Dia lalu mampir ke rumah itu. Rumah itu ternyata milik Ki Mranggi, bekas prajurit Majapahit. Dengan senang hati Ki Mranggi menerima kedatangan Jaka Mruyung. Jaka mruyungpun ditawarinya untuk tinggal menetap di sana. Jaka Mruyung mau. Dia dianggap cucu Ki Mranggi. Oleh Ki Mranggi, dia diajari membaca, menulis, olah keprajuritan, bela diri, dan ilmu kanuragan. Setelah dirasa ilmunya mencukupi, Jaka Mruyung diijinkan melanjutkan pengembaraannya. Atas petunjuk Ki Mranggi, Jaka Mruyung disuruh pergi ke timur mencari hutan besar bernama Alas Pakis Aji. Jaka Mruyung segera berpamitan. Dia berpesan agar desa tempat Ki Mranggi itu dinamakan Desa Panulisan, desa tempat dirinya belajar baca tulis.
Berhari-hari Jaka Mruyung melakukan perjalanannya. Dia beristirahat disebuah padang rumput yang luas. Kemudian daerah itu dinamakan Gumelar, sesuatu yang luas/lebar. Diapun melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan dia bertemu seorang pemuda yang bernama Tlangkas. Tlangkas memberitahu bahwa Alas Pakis Aji sudah dekat, di sisi barat Kadipaten Kutanegara.
Diceritakan bahwa pada saat itu Ki Sandi dan Nyai Sandi sudah sampai di rumah Ki Mranggi. Dia mencari tahu keberadaan puteranya. Dengan diberi tahu tanda lahirnya, Ki Mranggipun mengetahui bahwa itu adalah Jaka Mruyung. Ki Mranggi mengatakan bahwa Jaka Mruyung sedang dalam perjalanan menuju Alas Pakis Aji. Segera saja mereka pamit dan menyusul Jaka Mruyung. Dalam perjalanannya yang melelahkan, mereka beristirahat di tepi sungai yang airnya bening dan kemracak (gemercik). Maka, daerah itu dinamakan Desa Kracak. Dalam perjalanannyapun mereka berjumpa dengan orang yang berbahasa Sunda. Dia membawa buah gondang amis yang artinya buah gondang manis. Maka, daerah tersebut dinamakan Desa Gondangamis.
Sampailah Jaka Mruyung di pinggir Alas Pakis Aji. Dia beristirahat di sebuah tempat yang banyak burung jalaknya dan tempat itupun diberi nama Pejalakan. Setelah beristirahat, Jaka Mruyung masuk ke Alas Pakis Aji. Sampailah dia di Kali Datar. Di sana dia menjumpai sebuah kedung yang banyak burung serwitinya. Tempat itupun akhirnya bernama Kedung Serwiti. Segera saja dia membabat hutan itu. Di tengah dia membabat hutan, dia melihat beberapa orang sedang membuat tambak ikan. Jaka Mruyungpun mendekati mereka dan meminta mereka membantunya membabat hutan. Mereka menyanggupinya.
Saat membabat hutan, Jaka Mruyung bertemu dengan ular besar. Dengan kesaktiannya, dia menangkap ular itu dan dibunuhnya. Ular tersebut kemudian dibakar. Api pembakaran itu kemudian merambat hingga membakar seluruh Alas Pakis Aji. Kebakaran itupun diketahui oleh Adipati Nglangak penguasa Kadipaten Kutanegara. Adipati marah. Dia memerintahkan menangkap orang yang telah membakar Alas Pakis Aji. Jaka Mruyungpun dapat ditangkap dan di tahan di Kadipaten Kutanegara. Tidak lama kemudian dia dibebaskan.
Adipati Nglangak memiliki tiga orang anak perempuan, yaitu Dewi Pandansari, Dewi Pandanayu, dan Dewi Rantansari. Mereka bertiga juga merupakan senapati wanita di kadipaten itu. Suatu hari, Kadipaten Kutanegara hendak mencari seorang senapati lewat sayembara. Jaka Mruyungpun ikut serta dalam sayembara itu. Dalam pertandingan akhir, Jaka Mruyung dapat mengalahkan kesaktian Ki Kentol Ireng. Diapun diangkat menjadi Senapati Kadipaten Kutanegara dan dinikahkan dengan Dewi Pandanayu.
Pada akhirnya, Jaka Mruyung dapat menggantikan kedudukan Adipati Nglangak menjadi pemimpin Kadipaten Kutanegara. Tidak lama setelah sayembara, Jaka Mruyung dapt berjumpa dengan Ki Sandi dan Nyai Sandi yang tak lain adalah ayah dan ibunya. Adipatipun tahu kalau Jaka Mruyung adalah putera Adipati Munding Wilis dari Galuh Pakuan. Setelah mendengar cerita dari kedua orang tuanya, Jaka Mruyung pergi ke Bukit Mruyung untuk membalas dendam pada Abulawang. Abulawangpun mengakui kesalahannya. Dia tidak tega membunuh Abulawang karena jasanya yang telah membesarkan Jaka Mruyung. Abulawangpun dibawanya ke Kadipaten Kutanegara. Adipati Munding Wilis dan istrinya memutuskan untuk kembali ke Galuh Pakuan. Jaka Mruyungpun menjadi adipati di Kutanegara. Pusat pemerintahan Kadipaten Kutanegara dipindah ke Alas Pakis Aji. Alas Pakis Aji tersebut kemudian berubah nama menjadi Ajibarang dan Jaka Mruyung menjadi Adipati Ajibarang yang pertama.
0 komentar:
Posting Komentar